7 Februari 2019,

7 Februari 2019, #

Enam sedang bekerja di kantornya, ketika Delapan mengetuk pintu ruangannya.

“Silahkan masuk, pintu tidak dikunci” seru Enam.

Delapan memasuki ruangannya. Enam sedang mengerjakan dua dokumen sekaligus, dengan kedua tangannya, masing-masing pada satu dokumen. Enam mengarahkan matanya dengan iris vertikal yang nyaris seputih sklera matanya, kontras dengan pupilnya yang separuh menutup karena terangnya cahaya dari luar ruangannya. Matanya yang seperti mata kucing itu menatap dalam tepat bertatapan dengan Delapan. Kedua tangannya masih meneruskan tarian mereka di atas dokumen-dokumen tersebut bak skaters yang sedang menari-nari di permukaan es.

Suasana ruangan yang agak gelap dengan suara angin sepoi-sepoi dapat dilihat dari jendela di belakang Enam, menambahkan suasana mencekam di ruangan itu.

“Ada apa, sesuatu yang urgent?” tanya Enam seraya mengembalikan pandangannya ke kedua dokumen yang sedang dia kerjakan.

Delapan merasa terintimidasi dengan perlakuan Enam itu. Dia merasa seperti setengah diacuhkan karena Enam tetap lanjut pada pekerjaan awalnya. Delapan mulai merasa panik karena kesulitan mengingat pesan apa yang harus disampaikannya kepada Enam.

Di tengah kepanikan tersebut, kesunyian yang menyelimuti seluruh ruang kantor yang remang-remang itu, tiba-tiba Enam kembali menatap tajam kedua bola mata Delapan yang seketika terbelalak, seolah-olah kedua bola matanya dapat melompat keluar dari tempatnya.

“Kau disuruh masuk ke kantorku oleh Sukarno artinya ada hal yang benar-benar penting kan?” tanya Enam dengan tatapannya yang seolah-olah sedang menelusuri isi pikiran Delapan.

Delapan hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaan Enam. Suaranya terkunci di tenggorokannya, berusaha keluar namun ketakutan akan tatapan tajam Enam.

“Jadi apa itu?” lanjut Enam.

Tatapan Enam kembali ke dokumen-dokumennya.

“Eee…” suara Delapan, berusaha menyusun kata-kata di kepalanya.

Suaranya tiba-tiba berani untuk berlari keluar dari tenggorokannya karena sudah terbebas dari tatapan Enam. Delapan menarik nafas panjang,

“Barusan ada kabar dari Pancasila, Unit H sudah dibentuk” kata Delapan dengan lancarnya.

“Unit H?” tanya Enam sambil mengambil satu dokumen lagi dari tumpukan di sebelah kirinya, meletakkan dokumen tersebut di antara kedua dokumen yang lagi dikerjakannya, sementara tangan kanannya terus mengerjakan dokumen di sebelah kanannya. Dia membuka dokumen baru tersebut dan menuliskan dengan tangan kirinya sesuatu di halaman kosong yang dibukanya.

“Lalu?” lanjut Enam sambil kembali mengerjakan dokumen yang tadi dikerjakan oleh tangan kirinya.

“Terkonfirmasi, Aditya masuk dalam program Unit H. Dia menerima serum percobaan AC-19 yang dikembangkan oleh mantan ilmuwan KukerIncubator” lanjut Delapan.

Saat Delapan mengatakan hal tersebut tangan kiri Enam bergeser ke dokumen baru tersebut dan lanjut menuliskan informasi baru, kemudian Enam mengembalikan tangannya ke dokumen di kirinya setelah Delapan terdiam sesaat. Delapan bingung melihat Enam. Selama sepuluh tahun karirnya di BAIK, dia tidak pernah masuk ke kantor Enam. Tapi dia tidak pernah menyangka Enam bisa melakukan hal yang dia lihat.

Enam memang pria yang aneh. Badannya tinggi besar dan kekar, mungkin sekitar seratus delapan puluh hingga seratus sembilan puluh sentimeter, kulitnya berwarna pucat dan rambutnya keperakan. Matanya yang seperti kucing dan iris yang nyaris tidak dapat dibedakan dari warna sklera matanya saja memberikan Enam tampilan seperti iblis. Telinganya yang berujung lancip memperkuat kesan tersebut. Sukarno selalu mengingatkan Delapan, kalau Enam adalah salah satu anggota kunci yang tak tergantikan, tapi Sukarno tidak pernah menjawab pertanyaan Delapan tentang asal usul Enam. Tepat dikatakan kalau Enam adalah “pria misterius” dalam arti sesungguhnya.

“Saya rasa Sukarno tidak mengirimmu untuk terdiam mematung saja di situ?” tanya Enam sambil tetap berfokus ke dokumen-dokumennya.

“Err, ilmuwan tersebut diketahui berhenti sejak tiga bulan lalu, dan kita sempat kehilangan jejaknya, tapi hasil analisis data perjalanannya merujuk ke Konawe Selatan, kota dimana kita mengetahui setidaknya ada satu markas KERNoK,” lanjut Delapan.

“Oke, terima kasih. Kau dapat keluar sekarang” perintah Enam kepada Delapan.

Kedua tangan Enam kini menulis bersamaan di dokumen baru tersebut, kemudian dengan segera menutup dokumen tersebut dan ia meletakkannya kembali ke tumpukan di sisi kirinya, dan kedua tangannya lanjut bekerja ke kedua dokumen yang sedari awal dia kerjakan.

“Tapi, saya belum…., " sela Delapan, mengingat dia masih harus menjelaskan beberapa detail lagi.

“Saya sudah mendapatkan informasi yang cukup” kata Enam, tanpa menatap Delapan.

Delapan meninggalkan ruangan Enam dengan berat hati. Masih banyak hal-hal yang ingin ditanyakan Delapan kepada Enam.

Delapan menutup pintu ruangan Enam. Seketika itu juga Delapan menyadari sesuatu yang aneh. Di ruangan Enam tadi, di belakang mejanya, terdapat sebuah jendela. Dari jendela tersebut Delapan dapat melihat pemandangan pantai di malam hari. Sesaat sebelum menutup rapat pintunya, Delapan yakin telah melihat gelombang yang menerpa pantai tersebut. Yang membuat bulu kuduk Delapan berdiri adalah waktu saat ini menunjukkan pukul sebelas siang, dan gedung ini berada di tengah-tengah kota.

“Jendelanya….” Delapan bergumam seraya mengingat kembali keanehan tersebut.

Dia yakin bisa melihat pohon di dekat jendela tadi lebih dekat dibandingkan dengan tepi pantai, dan dia yakin kalau jendela itu tampak seperti jendela betulan, bukan hanya video yang diputar. Kalau itu video, harusnya ketika dia berjalan di ruangan itu dia bisa melihat tepi gambarnya tetap, tapi tadi dia bisa melihat sisi lain dari pohon itu yang tertutup bingkai jendela, bak pohon itu betulan ada di dekat tembok samping jendela tersebut.

Sukarno datang menghampiri Delapan.

“Bagaimana?” tanya Sukarno.

Delapan hanya terdiam di depan pintu ruangan Enam. Matanya kosong, pikirannya kalut. Keringat dingin tampak di permukaan kulitnya.

“Kau sudah menyampaikan pesanku kepada Enam?” tanya Sukarno.

Delapan tersentak seketika, dia tidak menyadari ada orang di sampingnya. Dengan segera dia menghadap Sukarno, dan menjawab,

“Su, sudah” balasnya dengan suara yang bergetar.

“Kau tahu saya menyuruhmu masuk bukan tanpa alasan kan?” lanjut Sukarno.

Tampak senyum Sukarno melebar dan mencoba menatap mata Delapan yang masih kebingungan.

“Untuk menakutiku? Untuk menjawab pertanyaanku kepadamu?” tanya Delapan berusaha menebak maksud dari Sukarno.

Sukarno tertawa kecil, kemudian melanjutkan perkataannya,

“Itu salah satunya. Alasan lainnya adalah karena Enam penasaran denganmu”

Delapan mengkerutkan dahinya,

“Kenapa?”

“Selama sepuluh tahun kita terbentuk, ehm, walau saya baru masuk setahun ini saja, Enam mengaku jarang berbicara dengan orang lain selain Suharto dan Tujuh. Alasannya mudah saja, dia awalnya tidak tertarik dengan yang lainnya. Tapi belakangan kinerjamu meyakinkan dia kalau dia melewatkan sesuatu darimu” lanjut Sukarno.

“Dia itu apa?” tanya Delapan seketika.

Sukarno hanya menatapi wajah Delapan, dan lanjut menjelaskan,

“Kau akan ditugaskan oleh Enam untuk menjadi eksekutif KukerCorp berikutnya. Dia mau kau memasukkan ‘Divisi riset komputasi manusia’ dalam program kerjamu”

Delapan mengernyitkan dahinya sekali lagi, dan bertanya,

“Bukankah Suharto yang menjabat eksekutif sekarang?”

“Suharto sudah menjabat sejak tahun 2008, ketika dia membuat perusahaan induk KukerCorp, ini sudah tahun kesebelas, masa jabatannya yang ketiga. Walaupun di anggaran dasar membolehkan masa jabatan selama empat tahun dan dapat dipilih lagi untuk kedua, ketiga, dan keempat kali, bukankah itu tetap saja aneh?”

“Lalu kenapa saya? Siapa Enam?”

Sukarno menarik nafas panjang, lalu menatap dalam ke mata Delapan.

“Enam yakin kau berkualifikasi, dan tidak ada yang berani membantah Enam…”

“Bukankah kau menjabat sebagai ketua? Kenapa harus tunduk dengan Enam?” sela Delapan.

“Ya, saya ketua. Ya, saya tidak berani membantah Enam. Tapi bukan berarti Enam yang merupakan pemimpin de facto kita. Logikanya tak terbantahkan, dan sarannya selalu meyakinkan. Kau tahu sendiri kan dia selalu benar dengan pendapatnya?” jawab Sukarno.

Dia menarik nafas dalam, berusaha menahan emosinya. Sukarno memang tidak senang kalau statusnya dipertanyakan, mengingat dia adalah salah satu anggota termuda.

“Stabilitatem per Interventum, itu motto kita. Karenanya untuk mencapai tujuan akhir dari dibentuknya KukerCorp dan BAIK Operatives, kau perlu menjabat di kursi eksekutif KukerCorp untuk masa jabatan empat tahun kedepan.” lanjut Sukarno.

Delapan terdiam sesaat, menatap langit-langit koridor di depan ruangan Enam, dan menjawab,

“Apa yang perlu saya persiapkan?”

Sukarno tampak tersenyum, seri di wajahnya kembali.

“Dokumen mengenai persyaratan dan tata cara serta informasi tentang proyek yang harus kau masukkan di program kerjamu akan dikirimkan oleh Suharto ke komputermu”

Sukarno langsung berpaling dan segera menuju kantornya, di ujung koridor tersebut.

“Tunggu!” seru Delapan.

Sukarno berpaling dan menatap Delapan,

“ya?” balasnya.

“Laporan itu kau berikan, dia tidak mendengarnya dengan utuh, tapi dia bilang dia sudah dapat informasi yang cukup. Lalu, apa hubungannya hal itu dengan dia ingin tahu tentang saya?” tanya Delapan.

“Derictor, dia punya cara sendiri untuk menilai orang” jawab Sukarno.

Dia langsung menyebut nama, bukan kode nama. Kenapa? Hal itu tidak biasa, karena mereka membiasakan untuk memanggil nama kode di kantor.

Sukarno tampak berjalan dengan riang menuju ruangannya ketika tiba-tiba dia berpaling ke Delapan lagi,

“Oh, soal informasi yang kau berikan kepadanya, dia bilang sudah cukup, karena dia juga sebenarnya meneliti hal yang sama. Mungkin saja kau sudah memberikan cukup informasi baginya untuk melanjutkan?” terangnya, sebelum berbalik lagi menuju kantornya.

Delapan hanya bisa termenung di depan pintu kantor Enam, pikirannya kalang kabut, tidak memahami apa yang baru saja terjadi.

Sebelum dia tambah stress memikirkan masalah itu, sebaiknya dia kembali ke ruangannya, pikirnya saat itu.

***

Di dalam kantor Enam, Enam menyalakan lampu ruangannya, dan mematikan layar Array Fase Optik (Optical Phased Arrays, OPA) yang saat itu sedang menampilkan suasana laut malam hari di pantai yang tidak dikenal. Sesaat sebelum dimatikan, tampak hewan aneh yang seperti anjing dengan tangan kera menggantung di pohon.

“Bisa dimulai” kata Enam.

Asap berwarna kehitaman mengepul dari lantai, dan membentuk badan yang menyerupai manusia. Seketika tampak asap itu menjadi semakin mirip figur manusia, lebih mirip Enam, tapi dengan kulit abu-abu gelap. Posturnya lebih besar dari Enam.

Figur itu mulai berbicara,

“Sudah kau pastikan?”

“Ya, Henokh juga setuju” balas Enam.

Henokh adalah nama asli dari agen Suharto.

“Bagus. Kita harus cepat sebelum D4 menjalankan pionnya.” balas Figur itu.

“Tidak usah khawatir, bisa diatasi” balas Enam, dengan senyum menyeringai di wajahnya.

“Saya pegang janjimu” kata figur itu ketika dia mulai tercerai berai kembali menjadi asap kehitaman yang secara ajaib terserap ke lantai kantor Enam.