13 November 2020, #
13 November 2020,
Suharto sedang duduk di ruangannya, sambil membuka jurnal pribadinya. Dia melihat tanggal yang tidak asing, 2 Mei 2004.
“Hari minggu. Ditya datang hari ini. Kami berbicara tentang masa depan. Satu hal yang menarik perhatianku adalah Ditya membawa buku merah dengan lambang palu dan arit. Saya menanyainya tentang buku itu, dan dia hanya mengatakan, ‘ini adalah masa depan kita’. Pada akhirnya saya pun ikut membaca buku itu.” baca Suharto.
Dia hanya tersenyum. Apa yang dia ingat mengenai hari itu bukanlah mengenai palu dan arit itu. Faktanya dia sudah lupa akan buku itu, dan apa isinya. Yang dia ingat, itu adalah asal mula Suharto mulai berpikir untuk membuat perusahaan seperti sekarang ini.
Dia pun membuka entri lain, 22 Agustus 2004.
“Hari minggu. ‘Bhinneka Tunggal Ika’ adalah slogan yang bagus untuk dimasukkan ke anggaran dasar Koperasi Kelompok Usaha Kewiraswastaan. Melambangkan sekali impianku. Lucu, Aditya yang memberiku ide mengenai hal tersebut. Anderson pun tampak tertarik, dan katanya bersedia membantu …”
Suharto hanya tersenyum. Dia mengingat seluruh bulan agustus dan september di tahun itu ia habiskan untuk mendaftarkan status badan hukum koperasi yang menjadi cikal bakal KukerCorp tersebut. Dan Anderson pun ikut membantu untuk mempercepat prosesnya..,
Ketika ia lanjut membaca, Suharto pun menyadari ada yang janggal dari Anderson. Suharto ingat bahwa pada waktu itu saja dia tampak masih muda, di usia sekitar dua puluhan tahun. Tingginya sekitar seratus delapan puluh lima sentimeter, kulitnya sawo matang pada waktu itu, dan selalu mengenakan topi. Rambutnya yang gondrong bewarna hitam pekat seperti arang pada waktu itu, berbeda jauh dengan rambut Enam kini yang sering ia lihat di kantor.
Kemudian Suharto membuka data anggota BAIK, dan melihat data diri Enam. Foto keanggotaan Enam yang tetap sama kekarnya -dan sama mudanya, kulitnya berwarna putih pucat, dengan iris yang tidak dapat dibedakan dengan skleranya. Pupilnya seperti pupil kucing, dan telinganya agak tajam pada bagian ujungnya. Rambutnya berwarna abu-abu keperakan.
Enam adalah orang yang sama dengan Anderson, Suharto tahu itu. Dia juga tahu bahwa karena kemampuannya mengubah tampilan fisiknya itu Enam selalu mengambil tugas penyusupan atau infiltrasi, spionase, dan sejenisnya. Sejarah tugasnya pun sempurna tanpa cacat hingga saat ini.
Yang aneh adalah, Enam dapat merubah warna kulitnya dalam jangka waktu kurang dari tiga hari, dapat merontokkan rambutnya dan menumbuhkan rambut baru dengan warna dan tekstur yang berbeda dalam waktu kurang dari seminggu. Belum termasuk dengan iris matanya yang terbuka vertikal seperti iris mata kucing, dapat berubah menjadi iris normal seperti manusia dalam beberapa hari saja. Warna irisnya pun dapat berubah, namun entah kenapa saat tidak bertugas dia lebih suka iris matanya berwarna putih seperti sklera matanya.
Enam bahkan tampak tidak pernah menua, bahkan setelah lebih dari tujuh belas tahun Suharto mengingatnya.
Dia ingat sekitar sepuluh tahun lalu dia selalu berusaha mencari tahu soal Enam. Pada saat itu Enam tidak pernah sekalipun memberitahukan siapa dirinya, dan selalu berhasil mengelak pertanyaan Suharto.
“Apa saking seringnya saya bertugas dengan dia, saya jadi lupa keanehannya ya?” gumam Suharto sendiri.
Dia hanya tertawa ringan.
Suharto mengambil satu buku lagi dari rak bukunya. Buku itu adalah jurnal Suharto mengenai penelitiannya tentang Enam. Dia sudah menyusun buku itu bertahun-tahun lamanya, namun ia tidak pernah mendapat informasi yang relevan mengenai asal usul Enam.
Dia membuka jurnal tersebut dari tengah, dan mendapati satu entri,
“13 Mei 2012, kenapa bisa delapan tahun lalu Anderson mau membantuku? Dia tidak meminta gaji lebih, dia bahkan tidak bekerja tetap di koperasi. Analisis mengenai pengeluaran dan pemasukannya pun tidak pernah pasti.”
Suharto mengingat-ingat lagi hari itu.
“Aneh, neraca keseimbangan pemasukan dan pengeluaran Enam yang kuselidiki tidak pernah surplus, selalu defisit. Darimana dia dapat tambahan uang untuk bertahan hingga sekarang?” batinnya.
Ditengah rasa penasaran yang mulai tumbuh kembali, seperti tanaman yang telah mulai layu diberikan sentuhan butiran-butiran air yang segar. Rasa penasarannya bertumbuh dan berkembang kembali, seraya pikiran Suharto mengakar jauh ke ingatan-ingatan yang telah jauh di masa lalu, menggali ulang kenangan-kenangan yang telah terkubur jauh. Rasa penasaran itu kini telah tumbuh dan siap untuk mekar sekali lagi.
Suharto bangkit dari kursi kerjanya, seraya merenggangkan otot-ototnya yang lelah setelah duduk berjam-jam. Kemudian matanya tertuju pada sofa di depan meja kerjanya. Ditambah dengan rasa lelah yang menumpuk, melihat tekstur lembut dari sofa tersebut seolah-olah Suharto dipanggil-panggil untuk menyandarkan badan ke permukaan sofa itu.
“Tampaknya saya perlu beristirahat sebentar” gumamnya sambil tersenyum kecil.
Ia menyandarkan punggungnya yang lelah ke sofa yang sedari tadi terus memanggilnya, berusaha memuaskan permintaan tubuhnya yang ingin segera menghilangkan penat setelah berjam-jam.
Suharto hanya menatap langit-langit kantornya, sambil menyelam dalam ke pikirannya, berusaha menemukan seuntai benang perak di antara segunung benang-benang kusut, mengenai sosok Enam yang misterius.
Enam telah membantunya, tapi Suharto sudah bekerja dengannya cukup lama untuk mengetahui bahwa tidak mungkin Enam membantunya begitu saja. Alasan Enam itulah yang membingungkan Suharto. Dan pengalaman Suharto sebagai pengusaha mengatakan bahwa apa yang tidak diketahui lebih menakutkan daripada apa yang telah diketahui.