18 Agustus 2021,

18 Agustus 2021, #

Di suatu siang yang terik, pada serambi depan Lippo Plaza, Kendari, adalah tiga orang pria duduk di satu meja.

Orang yang pertama bertubuh jangkung, dengan telinga yang kecil dan tebal, kulitnya berwarna kecoklatan terang, dan rambutnya hitam pekat yang tertata rapi memberi kesan seperti seseorang yang memegang jabatan penting. Namun ia hanya mengenakan baju kaos tanpa kerah dan celana jins warna biru tua.

Ia adalah Sukarno, dan ia adalah orang pertama yang berbicara di antara ketiga orang tersebut.

“Klandestin baru saja memberi laporan, Enam sudah tiba di ruang rehabilitasi” kata Sukarno.

“Kemana saja Enam? Gedung kita baru saja diledakkan kemarin pagi, dan dia menghilang begitu saja? Untung ada Kuin, semua-” potong Delapan.

Orang kedua ini berkulit sawo matang terang, hampir seperti susu. Parasnya yang tegas dengan mata yang tajam, rambut tebalnya yang tersisir rapi ke samping kanan, dan kemeja hitam dengan garis keabu-abuan cerah di tepi kerah dan garis kancingnya membuat wanita-wanita yang melewatinya tergoda untuk sekali-sekali meliriknya. Harus diakui, diantara ketiga orang itu, Delapan adalah yang paling menarik.

“Cukup, Delapan. Kemarin saya suruh dia untuk jaga gedung B, tempat diledakkannya bom itu” tegur Suharto, memotong perkataan Delapan.

Orang ketiga, Suharto, adalah yang tampak paling tua diantara mereka bertiga. Ditambah dengan jambangnya yang menjalar hingga hampir bertemu dagunya dan kumis yang tampak seperti baru dicukur dua hari sebelumnya, membuat usianya tampak seperti hampir mencapai empat puluhan. Ia mengenakan kaos berkerah berwarna biru, kerahnya berwarna hitam dengan garis putih pada tepiannya. Celana jins berwarna krem terang yang dikenakan tampak bersih dan halus, dan ia hanya mengenakan sendal berwarna krem tua.

Delapan lalu menatap Suharto,

“Enam gagal?” tanya Delapan dengan tatapan kebingungan.

Maklum saja Delapan kaget, Enam tidak pernah gagal selama ini. Dengan gagalnya usaha Enam untuk menjaga gedung B dari meledaknya bom insurgensi KERNoK, sejarah kerjanya yang sempurna pun tercoreng.

Walau Delapan dikenal sebagai orang yang paling tidak menyukai Enam, tapi rasa tidak sukanya itu hanya karena Enam suka bertindak seenaknya. Namun jauh di hati kecilnya, Delapan tahu Enam selalu berhasil dalam apa yang telah direncanakannya, seolah-olah Enam memiliki indera keenam yang selalu membantunya. Kegagalan Enam bagi Delapan menandakan adanya ancaman yang bahkan Enam pun tidak dapat mengatasinya.

“Ya, setelah dari gedung B, Enam langsung pergi ke klinik di daerah Lepo Lepo” lanjut Sukarno.

“Lepo Lepo? Gedung B di Saranani, untuk apa dia pergi ke Wua Wua?” tanya Suharto.

“Tunggu, klinik? Untuk apa dia ke klinik?” sahut Delapan setelah Suharto menyelesaikan kalimatnya.

Sukarno agak kebingungan, karena tidak tahu siapa yang akan dia jawab duluan.

“Dia pergi ke klinik dekat sana katanya. Enam bilang dia pergi ke klinik Sejahtera” jawab Sukarno, kemudian dia berpaling ke Delapan untuk menjawab pertanyaannya.

“Dia terluka, punggungnya ditusuk pisau keramik dengan bagian tumpul bergerigi. Gagangnya lepas, dan bagian tumpul pisaunya bergerigi, sehingga tersangkut di tulang rusuknya, sehingga Enam tidak bisa mencabut pisau itu sendiri” terang Sukarno.

Setelah Sukarno menyelesaikan kalimatnya, baik Suharto maupun Delapan terdiam selama beberapa saat.

“Saya baru tahu Enam bisa dibegitukan, siapa yang serang dia?” jawab Delapan, sambil agak tersenyum.

Salah jika dikatakan Delapan tidak merasa khawatir dengan keadaan Enam, namun fakta bahwa Enam dapat terluka menggelitik hati kecil Delapan. Delapan pun sadar bahwa menertawakan Enam adalah salah dalam kondisi seperti ini, tapi senyuman itu tetap saja tertumpah dari bejana hatinya. Pikiran dan perasaan Delapan tidak sejalan untuk beberapa saat.

Suharto menatap tajam Delapan, yang segera menyadari tatapan itu dan menunduk seraya berusaha menghentikan senyumannya.

“Apa Enam ada memberitahu siapa yang memasang bom itu?” tanya Suharto.

Sukarno melirik tabletnya, dan menjawab singkat, “Ehm, dia bilang Aditya”

“Dia, bukannya dia masih di Singapura terakhir kita cek?” kata Delapan.

“Atau itu yang dia ingin kita tahu?” lanjut Sukarno.

Suharto kemudian teringat masa-masa dimana ia masih dekat dengan Aditya. Sudah bertahun-tahun ia tidak bertemu dengan Aditya. Barulah setelah Suharto dan Enam sama-sama mendirikan Badan Intelijen KukerCorp, atau BAIK, Suharto akhirnya berhasil memperoleh petunjuk mengenai keberadaan Aditya.

“Kenapa kau?” tanya Delapan sambil mencondongkan badannya ke arah Suharto.

“Saya tidak menyangka Aditya betulan masuk KERNoK” jawab Suharto dengan suara yang agak bergetar.

Suharto menarik nafas, dan berusaha menenangkan diri.

Sukarno mengkode Delapan untuk tidak lanjut menanyakan mengenai hal itu, yang mana tampak Delapan baru bersiap-siap untuk menanyainya. Menerima kode tersebut, Delapan pun berusaha untuk tetap diam.

“Di mana dia sekarang?” tanya Suharto setelah berhasil menenangkan pikirannya.

“Dia berhasil kabur. Klandestin dan Pancasila sedang mengejarnya, Kuin juga sudah memberikan prediksi lokasi pelariannya” jawab Sukarno.

“Kau bilang Kuin-mu bisa mencegah hal-hal seperti ini untuk terjadi?” tegur Suharto tiba-tiba.

Delapan pun tertegun akibat teguran itu,

“KukerCorp sudah mendanai KukerBrain cukup banyak, tiga puluh empat persen dana start-up itu saya rasa cukup besar kan?” tegur Suharto lagi.

Tampak mata Suharto menyala-nyala. Sukarno tahu kalau Suharto sedang terbakar emosi, tapi ia tidak yakin, apa emosi Suharto itu karena Aditya ternyata berhasil menjalankan serangan itu atau karena bangunan KukerCorp yang terbilang paling aman di seluruh asia tenggara berhasil dijebol.

“KukerBrain baru memperoleh self-awareness setengah tahun lalu. Lagipula, bukankah kau juga yang mengerjakan pengembangan awalnya?” balas Delapan dengan nada yang ditinggikan.

Pengunjung-pengunjung lain memusatkan pandangan mereka ke meja ketiga orang tersebut karena suara gaduh Suharto dan Delapan. Sukarno menyadari terbentuknya ketegangan di antara mereka berdua, dan dengan segera ia melerai mereka berdua.

“Cukup, cukup” lerai Sukarno.

Leraian Sukarno tepat pada waktunya. Delapan dan Suharto pun hanya terdiam saja, sementara Sukarno menyisir sekeliling dengan pandangannya, berusaha mencari pelayan restoran tersebut,

“Mas, bisa minta bill-nya?” sahut Sukarno sambil menggambarkan bentuk kotak di udara dengan jarinya kepada pelayan pertama yang berhasil ditangkap matanya.

Kebetulan saja nyaris semua orang sedang memandang ke meja mereka bertiga, dan semua pelayan tampaknya memperhatikan mereka (kalau-kalau terjadi kegaduhan lebih lanjut) sehingga pelayan tersebut segera merespon Sukarno tepat setelah ia bertatap mata dengan Sukarno.

Sukarno tahu jika diteruskan, Suharto dan Delapan akan beradu mulut. Dia tidak mau orang-orang mengenali mereka, apalagi Suharto sebenarnya cukup dikenal publik.

Sukarno membayar tagihan restoran dan bersama-sama mereka bertiga menuju mobil mereka di tempat parkir untuk kembali ke kantor.