9 Agustus 2022,

9 Agustus 2022, #

Enam pergi meninggalkan ruang kantornya di markas BAIK, gedung C Komplek KukerCorp. Dia melewati daerah perkantoran Divisi Humas KukerCorp, dan langsung menyebrang melalui jembatan yang melewati jalan antara Gedung C dan Gedung F, atau publik mengenalnya dengan sebutan KukerMall.

Suharto mengamati semua itu dari jaringan kamera pengawas internal KukerCorp. Ia tahu Enam akan pergi ke suatu tempat, dan untuk menyembunyikan tujuannya dia berjalan melalui tempat ramai seperti di KukerMall.

Mata Suharto tertuju pada konsol komputernya, dia sudah siap untuk memberikan perintah ke sekumpulan robot serangga yang dikembangkan Divisi Inovasi. Robot-robot itu seukuran kecoak rumahan, tapi cenderung berbentuk kekotakan. Memang tidak tampak seperti serangga jika dilihat dari dekat, namun dari jauh orang tidak dapat membedakannya dari serangga asli.

Suharto pun menekan perintah aktivasi, dan robot-robot itu mulai terbang memasuki jalur ventilasi di ruangannya. Mereka segera pergi mengikuti Enam, yang terus jalan menuju parkiran. Saat Enam memasuki mobil tersebut, serangga-serangga itu segera mendarat di bagian dalam mesin mobil Enam.

Suharto menunggu, hingga akhirnya Enam berhenti, dan turun dari mobil. Kemudian ia memerintahkan serangga-serangga itu untuk kembali mengikuti Enam.

Enam masuk ke sebuah rumah berukuran sedang, di suatu komplek perumahan. Serangga-serangga itu Suharto arahkan ke salah satu lubang ventilasi yang terbuka, dan perlahan-lahan terbang ke ruang tamu.

Adalah Enam duduk dengan seorang pria yang tampak masih di usia awal dua puluhan. Kulitnya cerah, dengan mata yang agak sipit, Suharto sempat mengira kalau ia adalah keturunan etnis Tionghoa. Namun Suharto menyadari bahwa telinganya juga agak lancip di ujungnya.

“Pria itu, sama dengan Enam?” batin Suharto.

Aneh, pria tersebut postur tubuhnya lebih kecil daripada Enam, dan iris matanya normal, tidak membuka vertikal seperti pada Enam, warnanya pun kecoklatan.

Postur badannya tegak, dan sedikit berotot, tidak seperti Enam yang tampilannya mengintimidasi.

“Tunggu, rasanya saya pernah lihat dia?” gumam Suharto saat memperhatikan wajah pria tersebut.

Dia teringat salah satu mahasiswa sarjana kesehatan yang pernah tinggal di dekat rumah Suharto di Surabaya.

“Steven kah dia?” batin Suharto sambil terus mengingat-ingat pria tersebut.

***

11 Maret 2002,

Sesosok pria muda berkemeja biru mendatangi suatu rumah mewah berpagar tinggi dan menekan bel di samping gerbang rumah tersebut.

Di sisi lain tembok tersebut, adalah kok bulu tangkis yang tergeletak di rerumputan pada halaman rumah besar tersebut.

Henokh yang masih muda pada waktu itu kebetulan sedang di teras depan rumahnya, sambil menikmati teh hangat dan membaca buku pelajarannya. Ia mendatangi gerbang, untuk menanyai orang tersebut.

“Ada apa ya?” tanya Henokh.

Pria tersebut bermata sipit, Henokh menduga orang tersebut merupakan keturunan etnis Tionghoa. Namun setelah diperhatikan telinganya agak lancip pada ujungnya.

“Tidak ko, bisa tolong ambilkan kok saya?” tanya pria tersebut.

Menggunakan panggilan ‘ko’ sudah cukup meyakinkan Henokh kalau pria tersebut adalah keturunan etnis Tionghoa, mengingat Henokh juga merupakan peranakan etnis Tionghoa.

“Kok? Kok apa?” balas Henokh.

“Oh, tidak, itu kok bulu tangkis saya, terjatuh di halaman koko” terang pria tersebut sambil menunjuk ke kok yang tergeletak di rerumputan sebelah kiri Henokh.

Henokh memperhatikan bahwa pria tersebut membawa raket bulu tangkis di tangan kirinya. Dia lalu melihat ke arah kok itu, dan mengambilnya.

“Aku boleh ikut main?” tanya Henokh pada pria itu sambil membuka gembok gerbang rumahnya.

Henokh memang senang dengan bulu tangkis, walaupun ia tidak terlalu pandai memainkannya.

Pria tersebut tersenyum.

“Boleh ko, kebetulan saya juga lagi main dengan papa dan koko-ku. Mungkin bisa main kalah ganti?” balas pria tersebut hangat.

“Oh, namaku Steven, Steven Pontirijaris” lanjut pria tersebut sambil menyodorkan tangannya untuk bersalaman.

“Saya Henokh, Henokh Lisander” balas Henokh sambil menyalami Steven.

Di lapangan depan rumah Henokh telah berdiri dua pria lagi, keduanya sama mudanya dengan Steven. Namun seorang lagi tampak sangat mirip dengan Steven, dengan postur tubuh yang agak besar dan intimidatif dibanding Steven, walau tinggi mereka berdua sama.

“Pa, ko, ini ada tetangga mau ikut main, boleh kan?” tanya Steven pada kedua orang tersebut.

“Iya tidak apa. Bagus toh, ada tambahan pemain” balas seorang yang mirip dengan Steven.

“Oh, perkenalkan, Henokh, dia Alex, saudara kembarku” kata Steven memperkenalkan.

Alex dan Henokh bersalaman sambil saling membalas “salam kenal”

Kemudian Steven segera memperkenalkan pria satunya lagi,

“Dan ini, papaku, John. Pa, ini Henokh” lanjut Steven.

“Salam kenal Asuk” ucap Henokh sambil menyalami John.

John tampak agak tinggi, kulitnya putih agak pucat, seperti orang albino. Rambutnya pun keperakan agak gelap. Anehnya ia tampak sama mudanya dengan Alex dan Steven. Mata John juga tidak tampak irisnya, hanya pupilnya yang hitam legam dapat terlihat jelas. Telinga mereka bertiga sama-sama lancip pada ujungnya, namun John memiliki telinga yang paling tegas lancipnya.

“Apa mungkin irisnya sama putihnya dengan sklera matanya sehingga tampak seperti ia tidak memiliki iris?” batin Henokh yang tanpa ia sadari sedang menatapi John.

Tampaknya John menyadari ia sedang ditatapi Henokh, kemudian memanggil Steven dan menegurnya,

“Ich a amo sameus, aeleu Ich ias?” tegur John.

Wajah Steven tampak kaget,

“Da, goflensis bin hoi!” sahut Steven panik.

Henokh memandang mereka kebingungan, tidak memahami apa yang mereka bicarakan. Batinnya yakin mereka tidak berbicara menggunakan logat tionghoa manapun.

“Logat Hokkian? Bukan, itu juga bukan logat Khek, apa mungkin bukan bahasa mandarin? Jerman kah?” batin Henokh kebingungan.

“Jadi kita main kalah ganti atau double set saja?” kata Alex memecah konsentrasi Henokh.

“Oh, apa double set saja ya?” lanjut Alex.

“Boleh, double set boleh” jawab Henokh.

“Ya double set saja, biar semua bisa main” balas John, kali ini matanya hitam keabu-abuan.

Henokh sempat bingung selama beberapa saat, ia tidak yakin dengan apa yang dilihatnya tadi. Sejauh yang Henokh ketahui, bisa saja ia salah lihat mengenai iris John. Yang pasti Henokh yakin bahwa John adalah penderita albino.

Mereka pun bermain bulu tangkis hingga sore menjelang malam.

***

“Iya, Steven” gumam Suharto yakin.

Ia sekarang yakin kalau pria yang sedang berbicara dengan Enam adalah Steven, temannya dulu sewaktu ia tinggal di Surabaya.

Pada waktu itu Suharto (Henokh) sedang kuliah, Steven juga yang merupakan adik tingkat sedang kuliah kedokteran.

“Hmm, dia pun sama awet mudanya dengan Enam” batin Suharto.

Dia ingat dua puluh tahun yang lalu Steven masih di awal usia dua puluhan, namun sekarang pun ia melihat Steven tampak masih di pertengahan dua puluhan.

“Tunggu, papa Steven, Asuk John, entah kenapa ia mirip dengan Enam?” kata Suharto, yang baru saja menemukan keanehan di keluarga Steven.

“Apa mungkin mereka berdua ada hubungan keluarga? Atau setidaknya, satu suku?” batin Suharto, seraya berusaha menghubung-hubungkan ingatannya.

Suharto dikagetkan dengan tawa Enam. Tawanya beda dengan tawa yang biasa Suharto dengar sewaktu berbicara dengan Enam.

Tawa ini terasa hangat, bahkan Enam tersenyum lebar sambil bercanda ria dengan Steven.

Suharto penasaran dengan pembicaraan mereka, namun ia tidak memahami isi pembicaraan mereka. Mereka menggunakan bahasa yang tidak Suharto pahami, namun Suharto mengenali bahasa tersebut.

Bahasa itu terdengar seperti bahasa yang digunakan di keluarga Steven, terutama sewaktu pertemuan pertama Suharto dengan Steven, dua puluh tahun lalu.

Baru saja Suharto berniat merekam pembicaraan mereka, Enam langsung menatap tajam ke mata Suharto.

Suharto terkaget, namun ia baru sadar bahwa yang dilihat Enam adalah robot-robot serangga yang dikirimkannya.

“Insectbot 3: Offline; Insectbot 5: Offline” sahut komputer Suharto.

Ia kemudian melihat dua dari enam jendela yang menampilkan streaming video kamera serangga robot tersebut berupa statik.

“Insectbot 2: Offline” sahut komputer itu lagi, ketika satu jendela lagi berubah menjadi statik.

Suharto segera memperbesar gambar Insectbot 4 yang berada di paling belakang, dan ia melihat Insectbot 6 mulai terurai menjadi debu di depan Insectbot 4, begitu juga dengan Insectbot 1, ketika komputer Suharto menyahut lagi,

“Insectbot 6: Offline, Insectbot 1: Offline”

“Insectbot 4: Offline” sahut komputer Suharto untuk terakhir kalinya.

Kini keenam jendela tersebut hanya gambar statik.

Suharto tidak memahami apa yang barusan terjadi. Robot-robot serangga tersebut terurai menjadi debu, bagi Suharto hal tersebut adalah mustahil terjadi.

Pikiran Suharto menjadi liar berusaha memahami apa yang terjadi.

“Apa Enam penyihir?” gumamnya tiba-tiba.

Dia hanya terkekeh, menyadari bahwa hal tersebut tidak mungkin. Namun hati kecilnya berkata bahwa sama tidak mungkinnya juga robot-robot tersebut terurai menjadi debu.

Setelah Suharto mulai tenang, ia tersenyum. Setidaknya rasa penasarannya terpastikan. Enam bukanlah manusia biasa. Suharto juga yakin Steven ada hubungannya dengan semua ini.

Suharto pun mulai menulis ke jurnal pribadinya di komputer tersebut.

“Ini informasi penting” gumamnya sambil terus mengetik.

***

Sementara itu, di rumah Steven, Anderson masih bercakap-cakap dengan Steven (Perkataan mereka sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia untuk kemudahan pembaca).

“Ingat tahun lalu kan?” kata Anderson.

“Iya ingat lah, tahun itu tahun pertama kalinya kau datang mengunjungi klinikku” balas Steven sambil tertawa.

“Bukan, bukan itunya” kata Anderson sambil tertawa.

“Maksudku serangan meteor di lima kota besar Indonesia” lanjut Anderson.

“Oh, serangan bom termonuklir itu?” balas Steven, raut mukanya menjadi agak serius.

“Bukan, tepatnya bom termonuklir yang diperkaya monopolium” terang Anderson.

“Iya, sama saja, ada apa dengan itu?”

Anderson agak memajukan badannya ke arah Steven,

“Sudah saya cek, Etovexiri sudah mengkonfirmasi kalau itu adalah serangan dari Denefasan” kata Anderson.

“Denefasan?” tanya Steven.

“Ya, makhluk berakal yang berasal dari planet Denefas. Mereka tampaknya mulai mempersiapkan pasukan dalam jumlah besar. Pasukannya mungkin datang dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun dari sekarang” lanjut Anderson.

“Datang? Datang ke sini? Ke Bumi?” tanya Steven, yang kini menjadi agak khawatir.

“Ya, tapi bukan itu yang harus kau khawatirkan” kata Anderson, sambil mulai melakukan komunikasi telepati dengan Steven.

Anderson memperlihatkan gambaran kapsul hitam yang tersusun dari keratin, yang meledak di kota-kota besar Indonesia. Kapsul itu adalah makhluk hidup biologis, yang dengan segera menjalankan reaksi fusi nuklir dengan bantuan katalis monopolium.

Anderson kemudian memberikan gambaran lain kalau Denefasan adalah bangsa yang cenderung menggunakan teknologi biologis, atau bioteknologi. Semua pesawat, kota, alat, dan habitat angkasa mereka berdasarkan bioteknologi, dan seringkali merupakan makhluk hidup sendiri.

Kemudian mereka fokus ke satu kapsul yang tidak meledak di teluk Kendari.

“Kau tahu, yang paling saya khawatirkan adalah kapsul itu merupakan telur pasukan” kata Anderson.

Kali ini ia menampilkan gambaran konsep telur pasukan milik Denefasan. Telur tersebut akan berenang menuju lautan dalam, kemudian menempelkan dirinya di batu. Telur tersebut kemudian berkembang dengan mengambil material dari batu tempatnya menempel dan dari lingkungan sekitarnya, kemudian membuat cabang-cabang di batu-batu sekitarnya, membentuk suatu struktur yang menyerupai pohon. Setelah itu “pohon-pohon” tersebut mulai tumbuh dan menghasilkan banyak buah, yang buah-buah itu berkembang menjadi pasukan biologis. Ada pasukan yang seperti laba-laba berdiameter dua meter, ada juga yang akan menjadi capung raksasa dengan rentang sayap tujuh meter, dan beberapa telur yang akan membesar menjadi beberapa ratus meter lebarnya, nantinya akan menjadi makhluk mirip lobster yang berfungsi seperti kapal, dan makhluk lainnya yang seperti serangga, ketika bertumbuh nanti akan memiliki delapan kaki yang panjang dan tebal untuk menopang berat tubuhnya di atas air. Kedua serangga besar tersebut nantinya akan mengangkut para laba-laba yang lebih kecil dan sepasukan capung raksasa.

Di bagian akarnya juga ada telur-telur yang lebih kecil, hanya beberapa sentimeter diameternya, berisikan bakal dari makhluk yang seperti lipan.

“Yang seperti lipan itu, adalah Denefasan” lanjut Anderson.

Anderson memperlihatkan lagi bagaimana lipan tersebut menempel di punggung laba-laba dan punggung capung raksasa tersebut, dan kaki-kakinya yang panjang dan tajam itu menusuk masuk hingga menembus urat syaraf laba-laba dan capung tersebut, kemudian mulai mengendalikan tubuh mereka.

“Kau bisa tahu darimana?” tanya Steven spontan.

“Etovexiri mengunduh modul data tentang denefasan dari Jaringan Jalan Tikus (istilah yang digunakan Aucafidian untuk menyebut ’lubang cacing’ atau ‘wormhole’) terdekat, di awan Oort, kemudian ia berikan ke saya” lanjut Anderson.

“Intinya, kau harus memeriksa dan memantau teluk Kendari, untuk tanda-tanda pertumbuhan telur tersebut” kata Anderson lagi.

“Oh, seingatku tidak ada sama sekali tanda-tandanya hingga sekarang” balas Steven.

Anderson terdiam sesaat. Ia menghentikan telepati mereka,

“Yang penting, kau siapkan dirimu. Berdasarkan pola perang Denefasan, mereka akan memberikan serangan demo setelah satu serangga raksasa tadi selesai bertumbuh” lanjut Anderson.

Steven hanya menelan ludah karena ketakutan.

“Tapi tenang saja, itu bukan masalah buat kita, hanya sedikit masalah buat manusia” lanjut Anderson sambil tersenyum.

“Bagaimana bisa tidak khawatir, saya setengah manusia” ketus Steven.

Anderson hanya tertawa.

“Satu lagi, jauhi kelompok-kelompok perkumpulan KERNoK” kata Anderson lagi mengingatkan,

“Dan, bukankah kau mau mendaftar di KukerCorp?” lanjut Anderson bertanya.

“Iya, benar” jawab Steven singkat.

Steven berencana untuk menjadi dokter tetap di KukerHealth, rumah sakit yang dimiliki oleh KukerFoundation, yayasan yang didirikan oleh KukerCorp untuk menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan.

“Jauhi juga KukerCorp, jangan kerja di sana” balas Anderson.

Ekspresi Steven berubah menjadi jengkel.

“Kenapa jangan?” tanya Steven dengan nada yang meninggi.

Anderson menarik nafas, dan menjelaskan,

“Pertama, untuk KERNoK, mereka adalah organisasi besar, sejenis insurgensi, mirip dengan terrorisme tapi beda. Saya rasa kau paham bahwa alasan lain yang kuat untuk tidak mengikuti mereka adalah karena mereka cenderung ke arah komunisme. Kau tidak mau ditangkap karena ikut perkumpulan itu kan?” terang Anderson.

Kemudian Anderson menaikkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya,

“Kedua, KukerCorp adalah korporasi besar, dan mereka menyimpan informasi yang sangat lengkap tentang data pekerja dan data-data yang mereka peroleh dari mesin pencari mereka, KukerList. Ditambah karena mereka sudah mengembangkan kepintaran buatan, KukerBrain, data-data yang disimpan itu sebentar lagi bisa ditelaah oleh KukerBrain, dan menambah data tentang eksistensi kita dan catatan sipilmu yang penuh anomali akan lebih mempersulit ruang gerak kita untuk tidak ketahuan” lanjut Anderson.

“Jadi, saya tidak boleh menggunakan layanan apapun yang disediakan KukerCorp?” tanya Steven.

“Tepat, termasuk KukerMail, atau Kmail” jawab Anderson segera.

Steven mengkernyitkan dahinya,

“Tunggu, bagaimana dengan alamat surel [email protected] milikku yang kugunakan untuk pekerjaan?” tanyanya.

Anderson terdiam sebentar, kemudian menatap balik Steven,

“Hati-hati saja, jangan bicara apapun soal kita lewat email itu” tegur Anderson.

“Tenang saja, semua yang lewat alamat surel itu murni pekerjaan, tidak mungkin ada referensi tentang Aucafidian dalam situ” jawab Steven seraya berusaha meyakinkan Anderson.

Anderson hanya menatap Steven, kemudian menjawab,

“Terserah. Yang penting jangan sampai kau lupa dan tak sengaja menempatkan referensi tentang Aucafidian di email itu”

“Percaya saya, semua emailku diurus sama exoself-ku, jadi harusnya tidak mungkin ada saya tidak sengaja lewatkan” jawab Steven.

Mendengar hal tersebut Anderson tertawa terbahak-bahak. Steven mengerutkan wajahnya, menunjukkan rasa tersinggung karena tawa Anderson.

“Kenapa tertawa?” tegur Steven.

“Tidak, maafkan aku” balas Anderson sampai tetap ketawa.

Anderson berusaha menenangkan diri, hingga akhirnya ia merespon,

“Saya hanya lupa kalau kau bisa menggunakan exoself,” kata Anderson,

“Ehm, yang penting, utamakan untuk menggunakan Grid Aucafidian, dibanding harus menggunakan internet manusia” lanjutnya.

Steven tahu Anderson tertawa karena perangkat yang digunakan oleh Steven sebagai exoselfnya adalah sebuah tablet hitam legam menyerupai smartphone dengan ukuran diagonal lima koma sembilan inchi, yang umumnya Steven akses dengan telepatinya. Sementara Anderson menggunakan exoself yang dijalankan langsung di tulang-tulangnya yang telah dikonversi menjadi jaringan komputer biologis, yang juga merangkap sebagai tempat penyimpanan ingatan tambahan.

Dalam masalah ini memang exoself yang digunakan Steven tergolong tidak seefektif milik Anderson, karena keluarga besar Steven tidak mengizinkannya untuk memodifikasi langsung tubuh kecuali untuk tujuan medis.

“Tapi, saya berhubungan dengan teman-temanku lewat KukerFriend, itu tidak ada di Grid Aucafidian” gumam Steven.

Anderson terdiam beberapa saat, tampak memikirkan apa yang ingin dikatakannya,

“Ingat saja, Etovexiri sudah mengingatkan agar kita jangan sampai diketahui manusia dulu. Mereka belum siap” kata Anderson,

“Jika memang tidak lagi butuh, utamakan Grid Aucafidian” lanjutnya.

“Tenang saja, saya akan berhati-hati” kata Steven.

Anderson tersenyum, kemudian merubah posisi duduknya mencari posisi yang nyaman,

“Bagus kalau begitu” jawabnya singkat.

***

Setelah Suharto selesai mengetikkan apa saja yang ditemukannya hari ini ke komputernya, ia kemudian membuka jendela baru di desktop-nya. Kali ini adalah jendela yang menayangkan tampilan livestream dari tiga KukerDrone Avid, drone khusus yang dapat dikendalikan oleh KukerBrain, atau yang dikenal dengan sebutan Kuin. Ia sudah meminta KukerBrain untuk menginvestigasi tanda panas yang diperoleh satelit KukerSat di kutub selatan. Dan untuk itu, KukerBrain telah mengirimkan tiga drona jarak jauh ke kutub selatan.

“Kuin, bagaimana status ketiga drona yang kau kirimkan?” tanya Suharto ke mikrofon di dekat layar komputernya.

Layarnya bening pada awalnya, kemudian suatu jendela antar muka putih dengan tulisan “KuinSoft” pada sisi kiri atas timbul di tengah layar, menampilkan lingkaran yang sedang berputar-putar, tanda komputer tersebut sedang memproses perintah Suharto.

Selang beberapa saat, jendela tersebut menampilkan jawaban dalam bentuk serangkaian kotak yang berisikan sekumpulan video dengan teks-teks di sisi kanan setiap video.

Tepat di bagian bawah jendela tersebut, timbul satu kotak lagi yang berisikan tulisan,

Laporan telah disiapkan, ringkasan pengamatan dapat diakses di sini, sementara tampilan video dapat diakses dari jendela di atas.

Suharto kemudian menekan kalimat “dapat diakses di sini” di layar, kemudian sebuah jendela baru timbul berisikan dokumen sembilan halaman yang menjelaskan tentang apa saja yang diamati dan dikenali oleh Kuin.

Saat itu Suharto yakin dia sedang tidak berniat membaca laporan tersebut, kemudian menggeser jendela tersebut ke samping, dan menekan salah satu video yang ditampilkan di jendela pertama.

Suharto mengamati video pertama yang berdurasi tiga menit tersebut. Selama semenit menit pertama tidak ada yang aneh, Kuin hanya menampilkan perjalanannya di antara gunung-gunung es antarktika. Beruntung pada hari itu cuaca masih cerah. Bulan yang nyaris bulat sempurna dapat dilihat di dekat garis cakrawala pada sisi kiri tampilan kamera, saat drona-drona itu menyisir dataran Antarktika ke arah timur.

Cahaya bulan menerangi dataran salju yang tak berujung, hingga tiba-tiba ada pointer dari Kuin di sisi kanan bawah kamera Drona 1. Entah darimana, seketika muncul bidang segi empat gelap yang melayang di atas lapisan salju. Tampak di dalam sisi segi empat tersebut seperti dinding dengan lampu-lampu vertikal, seolah-olah segi empat tersebut adalah gerbang. Yang membuat Sukarno bingung adalah gerbang itu melayang di atas tanah, seolah-olah sebuah lubang muncul begitu saja. Herannya bidang tersebut tidak menimbulkan bayangan di bawah cahaya rembulan yang cerah pada malam itu.

“Optical Phased Array Layer Detected” tulis Kuin di layar, sambil menandai bangun kondisi ruang di sekitar segi empat tersebut.

Kuin menampilkan analisanya di jendela lain, melihat kemiringan permukaan dan salju, dan posisi bidang segi empat itu yang rata sekitar satu meter dari permukaan. Model Kuin menunjukkan setidaknya ada bidang rata sekitar satu meter dari permukaan yang tampak, sehingga permukaan tanah di bawah bidang segi empat itu sebenarnya tidak ada, melainkan hanya proyeksi dari Optical Phased Array.

Suharto kemudian mengalihkan pandangannya kembali ke video rekaman Kuin, yang kali ini sudah berupa statis. Dia kemudian melihat Drona 2 dan Drona 3 juga, yang baru mulai menampilkan citra serupa dari sudut lain, sebelum Drona 2 dan 3 juga menjadi tampilan statik.

Kuin menunjukkan waktu direkamnya video tersebut dan mempercepat gambar statik tersebut sejauh tiga puluh menit dalam waktu satu menit. Kemudian gambar statik di ketiga drona tersebut berhenti, dan menampilkan gambar pemandangan antarktika, seolah-olah drona-drona tersebut tetap terbang seperti biasa selama tiga puluh menit statik tersebut.

Kemudian video tersebut berakhir. Suharto hanya menatap kosong layar. Pikirannya kebingungan dengan apa yang dilihatnya itu. Barulah ia menyadari bahwa Kuin ada menyebut tentang Optical Phased Array atau OPA. Setahu Suharto, OPA masihlah dalam konsep, dan belum benar-benar berhasil diproduksi.

“Kuin, bukankah OPA dengan resolusi setinggi itu belum pernah diciptakan?” tanya Suharto kepada Kuin.

Suharto menelusuri ingatannya mengenai perkembangan teknologi OPA yang dirintis oleh Divisi Inovasi KukerCorp. Dia ingat terakhir kali berbicara kepada Pak Benhard, ketua Divisi Inovasi mengenai hal tersebut.

“Tunggu, sejauh mana teknologi OPA yang sedang kau kembangkan?” tanya Suharto lagi ke Kuin melalui mikrofon di dekat layar komputer.

Jendela analisa Kuin pun menunjukkan lingkaran yang berputar-putar, tanda Kuin sedang memproses pertanyaan Suharto. Beberapa saat kemudian, Kuin menampilkan jawaban,

Ya, memang tidak pernah diciptakan. Sejauh ini OPA masih dalam tahap perencanaan. Belum pernah ada OPA yang berfungsi diciptakan.

Baru dalam tahap pemodelan digital. Produksi fisik belum dapat dilakukan. Masih menunggu teknologi yang lebih presisi dalam produksi perangkat-perangkat pendukung, dan kebutuhan komputasi yang diperlukan belum mendukung pemprosesan data dalam jumlah besar untuk menghasilkan tampilan OPA resolusi tinggi.

Suharto hanya memandang layar komputernya, dan menekan kalimat “… dalam tahap pemodelan digital” di layar. Jendela tersebut pun menampilkan model digital yang dimaksud Kuin.

“Kuin, kalau begitu, kenapa bisa kau berkesimpulan kalau gambar yang diambil oleh drona-dronamu itu betulan OPA?” lanjut Suharto.

Lagi-lagi jendela analisa Kuin menampilkan lingkaran tanda sedang memproses pertanyaan Suharto.

Hasil simulasi OPA konsisten dengan resolusi yang diamati oleh kamera Drona 1, Drona 2, dan Drona 3. Model lainnya adalah bidang segi empat itu yang merupakan layar OPA, namun tidak menjelaskan bagaimana bidang tersebut dipertahankan di atas udara. Jadi model di mana lapisan salju di bawah bidang tersebut adalah proyeksi OPA lebih memungkinkan daripada model kedua.

Suharto terdiam, berusaha memahami arti kalimat yang diajukan Kuin.

“Lalu, siapa yang bisa membuat OPA semaju itu, di tengah antarktika, dan kau tidak melaporkannya lebih awal?” tanya Suharto spontan.

Jendela tersebut menampilkan lingkaran yang sedang berputar, seraya memproses perkataan Suharto. Sebuah kotak berisikan tulisan pun muncul lagi menampilkan jawaban Kuin.

Saya tidak tahu. Setahu saya, dan dari hasil pengecekan melalui seluruh database-ku, tidak ada satu pun teknologi OPA yang fungsional di seluruh dunia.

Suharto tahu statement Kuin bermakna ada suatu teknologi yang belum berhasil diciptakan telah digunakan dalam skala besar di antarktika.

Pada saat itu bahkan Suharto tidak memikirkan lagi mengenai statik selama tiga puluh menit di video-video yang direkam Kuin tersebut.

Ia hanya terus memikirkan siapa yang berhasil membuat OPA yang fungsional, dan berhasil memasangnya di kutub selatan tanpa siapa pun pernah mengetahuinya.