10 Agustus 2022, #
Suharto berjalan di suatu koridor yang sepi. Koridor tersebut berakhir dengan sebuah pertigaan, dan sebuah pintu besi yang menuju ke arah parkiran tepat searah dengan arah jalan Suharto. Suharto mengambil langkah ke arah koridor di kiri pintu besi tersebut. Di ujung koridor tersebut terdapat pintu lain, yang merupakan pintu masuk ke kantor Sukarno. Namun kali ini Suharto tidak berniat untuk bertemu Sukarno, ia berjalan menuju sebuah pintu di sebelah kiri koridor tidak jauh setelah belokan tadi.
Suharto berhenti di depan pintu tersebut, dan mengetuknya.
“Masuk saja” seru Enam dari dalam ruangan.
Suharto pun membuka pintu tersebut, dan mendapati Enam sedang menulis dua jurnal dengan kedua tangannya, seperti biasa. Ruangannya tidak banyak berubah sejak bertahun-tahun lalu. Penerangan ruangan tersebut redup seperti biasanya, dan tidak banyak yang menarik di ruangan itu, kecuali sekumpulan jurnal dan beberapa buku tua di rak bukunya. Hal baru yang ditemui Suharto di ruangan itu adalah tumpukan buku-buku baru yang belum terbuka plastik pembungkusnya di pojok ruangan dekat pintu.
Jendela Anderson, aneh seperti biasanya, menampilkan pemandangan tepi pantai dengan beberapa pohon terlihat di sudut kiri dan kanan jendela tersebut. Tidak banyak yang bisa dilihat Suharto sebab jendela tersebut terletak di belakang meja Enam. Jendela tersebut aneh karena di Suharto tahu di balik tembok tersebut adalah parkiran mobil di tingkat empat. Dan laut tidak mungkin bisa terlihat dari jendela tersebut, karena gedung ini terletak di dataran yang agak tinggi di tengah kota.
Suharto segera mengingat apa yang dia amati kemarin berdasarkan laporan Kuin, dan langsung sadar kalau ternyata jendela tersebut menggunakan teknologi OPA. Suharto tersenyum tipis, sebab pertanyaannya dari kemarin telah terjawab. Apa pun alasan Enam akan kepemilikan OPA tersebut, Suharto yakin kalau Enam berhubungan langsung dengan itu.
Enam melihat Suharto sesaat, sebelum matanya dengan iris seperti mata kucing berwarna abu-abu terang itu kembali terarah ke kedua jurnal yang sedang dituliskannya itu, seraya bertanya,
“Ada apa? Tumben kau datang tanpa memberitahuku” kata Enam dengan nadanya yang tenang seperti biasa.
“Tidak ji, hanya mau lihat-lihat saja. Bagaimana kabarmu?” respon Suharto sambil berjalan ke arah meja Enam, sambil berusaha untuk menyembunyikan senyum di wajahnya.
Enam menatap Suharto sekali lagi. Kali ini mukanya tampak curiga. Namun ia segera mengembalikan pandangannya ke jurnal-jurnalnya.
“Baik-baik saja” jawab Enam singkat.
“Bagaimana KERNoK?” tanya Suharto lagi, sambil berusaha melihat apa yang sedang ditulis Enam di jurnal-jurnalnya.
Suharto tidak memahami bentuk tulisan Enam. Tulisan tersebut terdiri dari karakter-karakter yang asing di mata Suharto, yang mengetahui tiga bahasa selain bahasa Indonesia itu. Tulisan tersebut bukan tulisan mandarin, bukan juga tulisan arab, maupun aksara sirilik.
“Tidak ada yang baru, kecuali Unit H yang baru-baru ini menunjukkan pergerakan ke Indonesia lagi. Alasan pergerakan mereka tidak kuketahui, tapi tampaknya bukan untuk mengebom kita seperti tahun lalu. Saya sedang mempelajari hal tersebut lebih lanjut” jawab Enam dengan nada yang tetap datar.
Kali ini Suharto mulai berjalan mengelilingi ruangan Enam. Suharto berjalan menuju rak buku di sisi kiri pintu masuk, dan berusaha mengamati buku-buku yang terdapat di rak tersebut.
Enam menyadari hal tersebut dan menegur Suharto,
“Kau lagi apa?” tanyanya, dengan nada yang agak ditinggikan.
Suharto balik memandang Enam, dan menjawab singkat,
“Tidak ji, hanya penasaran saja. Saya juga tidak pernah perhatikan ruanganmu baik-baik” jawab Suharto.
“Tidak ada yang menarik di sana, hanya buku-buku dan catatan-catatan tua yang saya bawa dari tempat asalku” jawab Enam, kali ini sambil terus mengawasi Suharto.
Suharto tertawa kecil,
“Apa saja yang kau catat di sini?” kata Suharto sambil berusaha menahan tawanya.
Suharto saat ini sedang di puncak kegembiraan, karena ia sangat yakin bahwa Enam memiliki hubungan dengan apa yang dilihatnya di kutub selatan, terutama dengan adanya satu jurnal berwarna biru tua dengan tulisan berwarna kuning emas, “Antarktika” tercetak di sisinya.
“Kebanyakan hanya catatan-catatan pribadi, dan saya rasa tidak ada yang bakalan bermanfaat untukmu” balas Enam.
Suharto mengambil jurnal biru tua itu dari rak buku, dan membukanya,
“Mungkin saja ada yang menarik tentang dirimu yang mau saya tahu?” tanya Suharto lagi.
Enam terdiam sesaat sambil terus menatap Suharto. Tangannya berhenti mencatat, tanda ia sedang teralihkan sepenuhnya dari pekerjaannya sebelumnya.
“Saya rasa saya tidak ingin memberitahumu soal itu sekarang” jawab Enam.
Enam lalu kembali memandang jurnal-jurnalnya, kemudian melanjutkan pekerjaannya. Kedua tangannya kembali menari-nari seolah-olah setiap tangannya memiliki pikiran sendiri.
Suharto hanya terdiam di depan rak sambil terus memandangi tangan Enam. Pikirannya mengawang-awang, berusaha memahami kalimat yang diucapkan oleh Enam. Suharto menyadari perubahan dalam struktur kalimat Enam terakhir kali, seolah menyiratkan tanda kalau ia berencana menceritakannya di suatu waktu yang akan datang.
Suharto menyadari, adalah bijak baginya untuk tidak mengganggu Enam sekarang, karena jika ia menekan Enam lagi, ada kemungkinan Enam berubah pikiran dan tidak mau lagi menceritakan mengenai hal tersebut. Apalagi Suharto tahu dengan pasti kalau Enam adalah orang yang selalu menepati perkataannya. Ehm, kecuali kejadian setahun lalu ketika ia dikalahkan oleh Aditya, padahal sebelumnya ia berkata dengan penuh percaya diri kalau ia akan berhasil menghentikan Aditya.
Enam kembali menatap Suharto,
“Ada lagi yang mau kau lakukan?” tanya Enam, sambil terus memandangi Suharto.
Kedua tangannya tetap bekerja seolah-olah mereka tahu apa yang harus dituliskan ke jurnal-jurnal tersebut, bahkan tanpa Enam memusatkan matanya ke kedua tangan tersebut.
Suharto hanya tersenyum, dan meletakkan kembali jurnal biru tua tersebut ke tempatnya semula.
“Tidak untuk sekarang” jawab Suharto.
Suharto pun berjalan menuju pintu keluar, dan bersiap untuk membuka pintu. Namun ia menyempatkan diri untuk mengarahkan pandangannya ke Enam lagi,
“Mungkin kita bisa bicara lagi, ketika kau sudah tidak terlalu sibuk?” kata Suharto.
Enam yang masih memandangi Suharto itu pun hanya tersenyum, kemudian mengembalikan pandangannya ke kedua tangannya lagi.
Suharto pun membuka pintu dan melangkah keluar ruangan. Pintu tersebut menutup dengan sendirinya.
“Klek”
Seketika terdengar pintu tersebut mengunci sendiri. Lampu ruangan tersebut bertambah terang, dan jendela tersebut bertambah gelap, hingga seketika tampak hanya seperti sebidang kaca berwarna hitam legam, tertanam di dinding belakang kursi Enam.
Enam berdiri, dan berjalan ke depan mejanya. Tiba-tiba dari lantai naiklah asap hitam legam yang berkumpul di depan Enam, dan kemudian membentuk figur humanoid yang tampilannya agak mirip dengan Enam, namun lebih besar dan lebih tinggi daripadanya.
“Henokh sudah terjerat pancing” kata Enam.
Figur itu hanya mengangguk, dan mulai berbicara,
“Bersiap. Serangan demonstrasi dari pasukan Denefasan bisa mulai kapan pun dalam waktu dekat” kata figur tersebut.
“Ya, saya tahu” jawab Enam segera.
Figur tersebut terdiam sesaat, kemudian melanjutkan omongannya,
“Instruksi selanjutnya, minimalisir kerugian dari pihak manusia, alihkan perhatian publik, cegah mereka agar tidak menyadari hubungan serangan itu dengan keberadaan kita. Juga suruh Kuin bersiap” kata figur tersebut dengan cepat.
“Baiklah” jawab Enam singkat.
Figur tersebut pun terurai kembali menjadi asap hitam yang terserap ke lantai.