19 Agustus 2022, #
Pada suatu pagi yang cerah, adalah satu mobil SUV merek Kar (produksi KukerKar Automobile) berwarna hitam yang sedang berjalan keluar dari komplek perumahan KukerSphere. Delapan menyetir mobil tersebut, sementara Sukarno duduk di kursi depan. Suharto duduk di kursi belakang, sambil memandang ke jendela. Mereka berangkat bersama-sama menuju gedung B KukerCorp, setelah kemarin menginap di rumah Delapan untuk merayakan ulang tahunnya.
Sebenarnya mereka bertiga tinggal di satu komplek, tapi acara semalam berlanjut hingga larut. Sehingga untuk mencegah mereka bolos masuk, dan untuk menjaga martabat Delapan sebagai CEO KukerCorp, di mana setiap perilakunya harus dijaga untuk tidak memberikan contoh yang buruk kepada pegawai di bawahnya, mereka memutuskan untuk menginap saja.
“Beh, kapan lagi kita bisa diantar sama Bapak Direktur ke kantor” kata Sukarno sambil tertawa ringan.
“Iya kodong, saya yang mantan direktur juga rasa terhormat eh diantar Bapak Direktur” lanjut Suharto.
Mereka bertiga tertawa.
“Bukan seharusnya kau yang menyetir kah, Drik?” balas Delapan sambil terus tertawa.
Kali ini Delapan berani memanggil nama akrab Sukarno yang merupakan singkatan dari nama aslinya, Hendrik, karena mereka tidak dalam lingkungan operasional BAIK.
“Apa ji kau Rik, sombong sekali jadi CEO” singgung Suharto sambil memukul pundak kiri Delapan dari belakang.
Derictor adalah nama asli dari Delapan, namun baik Hendrik maupun Henokh (Suharto) seringkali memanggilnya dengan panggilan “Rik” untuk lingkungan non-formal.
Sekilas Hendrik melihat notifikasi hape KukerPhone-nya, lalu bertanya pada Derictor dan Henokh,
“Eh, kalian ingat tidak, tahun lalu waktu Enam ditikam Aditya?”
“Iyo, sudah satu tahun juga di” balas Derictor.
“Sejak saat itu tidak bersih mi lagi track record-nya” lanjut Henokh sambil tertawa puas.
Mereka bertiga pun tertawa.
“Tumben ko bilang begitu we, ada apa kah?” tanya Derictor lagi.
“Sebenarnya, ada satu masalah lagi soal Enam” ucap Sukarno sambil melihat ke depan.
Delapan yang sedang mengendarai mobil pun teralihkan perhatiannya dan bertanya,
“Apa itu?”
Seketika wajah Hendrik menjadi pucat dan menunjuk ke depan,
“Hey, setir! Setir!” seru Sukarno yang duduk di kursi depan.
Derictor pun segera melihat ke depan dan kaget melihat dia sudah di lajur tengah. Hampir saja mereka ditabrak truk dari depan, namun Derictor dengan segera mengarahkan setirnya untuk kembali ke lajur kiri.
“Selamat, hampir saja wajah kita terpampang di halaman depan K-News” komentar Henokh yang duduk di belakang dengan nada sarkastik.
“Sebenarnya, Hen, kita sudah di halaman depan K-News tanpa kejadian itu” balas Hendrik kepada Henokh.
“Apa?” sahut Derictor dan Henokh bersamaan.
“Setir dulu! Setir dulu!” teriak Hendrik kepada Derictor.
Kali ini hampir saja mereka masuk ke selokan.
“Nanti saja di kantor, bahaya beh kalian kalau dikasih tahu sekarang” kata Hendrik.
“Apa sih, kau tong ji yang bikin penasaran!” ketus Derictor kesal.
Sukarno melihat notifikasi di tabletnya, kemudian berbalik ke arah Henokh,
“Oh, Hen, nanti siang Enam rencana kasih rapat khusus ji untuk bahas masalah itu” kata Sukarno.
“Terus, untuk apa mi kau kasih tahu kita kalau kau tidak mau ji cerita?” respon Derictor.
“Sebenarnya bisa ji kalian lihat di berita sekarang iya. Coba saja nanti kalian cari ‘Malaikat Mikhail’ di internet” komentar Hendrik sambil kembali melihat ke depan.
Henokh pun segera membuka hape KukerPhone-nya, dan menekan tombol browser di layar hape-nya. Ia langsung mengetikkan kata kunci ‘Malaikat Mikhail’ ke kotak pencarian, dan menekan enter.
Di halaman pencarian, pada hasil pencarian pertama ada tautan ke suatu video, yang kemudian dibuka olehnya.
Tampaklah suatu figur manusia bersayap yang berpendar biru keputihan terang di kamera, wajahnya tidak tampak jelas. Dia terbang dan melawan segerombolan capung raksasa yang menyerang Kendari kemarin sore.
“The heck…,” umpat Henokh saat menonton video tersebut.
Tampak judul video tersebut “The Archangel Michael: Conspiracy - Another Trailer from KukerStudio or just actual Archangel Michael?”, yang merujuk ke franchise sinema dari KukerStudio, The Archangel Michael. Munculnya manusia bersayap tersebut bertepatan dengan tanggal sebelum diluncurkannya sekuel film tersebut, The Archangel Michael: Conspiracy oleh KukerStudio bulan depan.
Tepat Pukul 13.00 WIB, Enam memasuki ruangan rapat dan menjalankan proyektor, kemudian ia menampilkan sebuah video menampilkan gambar figur manusia bersayap yang bercahaya, sedang melawan segerombolan capung raksasa, sosok iblis, dan sekelompok laba-laba raksasa. Keenam orang yang menghadiri pertemuan tersebut memicingkan mata mereka saat menonton video tersebut.
Sosok lain dengan postur yang tegap dan kokoh berdiri di samping layar, menghadap ke enam orang tersebut.
“Bagaimana?” tanya Enam, orang dengan postur yang tegap dan kokoh itu.
Salah satu dari enam orang tadi mengangkat tangannya. Enam mengarahkan pandangannya kepada orang tersebut dan mempersilahkan orang tersebut mengemukakan pendapatnya.
“Silahkan, Delapan?” kata Enam.
“Ini apa?” tanya Delapan.
“Cara kita mengontrol publik dan meningkatkan aliran dana ke KukerCorp” jawab Enam singkat.
“Dengan, ini? Apa yang kau perbuat?” bentak Delapan.
Enam menatap Delapan,
“Percaya saja. Saya belum pernah salah selama ini.” balas Enam dengan percaya diri.
“Kau perlu berhenti bertindak seenaknya” tegur Jokowi, salah seorang penonton.
“Cukup!” teriak Sukarno.
Sukarno kemudian menatap tajam Enam,
“Kita tidak tahu bagaimana publik bereaksi akan hal ini. Harusnya kau pikirkan dulu matang-matang sebelum bertindak!” tegur Sukarno.
“Tidak juga. Sudah saya pikirkan soal itu” balas Enam.
Dia membuka tampilan baru berisi grafik dan keterangan di layar. Kemudian memulai presentasinya.
“Malaikat itu akan menjadi pusat perhatian publik. Dengan demikian akan lebih banyak ruang bagi kita, Badan Intelijen KukerCorp, untuk beraksi” terang Enam lagi.
“Apa hubungannya?” tanya Delapan.
“Kau tahu kita punya studio kan? KukerStudio?” balas Enam sambil mengerutkan dahinya.
“Kau ingat tahun lalu kita membuat hit, major breakthrough dengan franchise The Archangel Michael kan?” lanjut Enam.
“Ah” gumam mereka semua.
Mereka baru menyadari arah pembicaraan Enam. Franchise The Archangel Michael, khususnya karakter Malaikat Mikhail, yang melindungi manusia dari serangan iblis. Aksi malaikat di video tadi nyaris serupa dengan gambaran aksi Mikhail di film tersebut.
“Orang-orang hanya akan peduli tentang berita mengenai Malaikat itu, dan media juga akan lebih menyoroti tentangnya, dibanding berita-berita yang berhubungan dengan aktifitas kita. Begitu juga, publik akan teralihkan dari propaganda KERNoK” terang Enam lagi, melanjutkan presentasinya.
“Lalu?” tanya Delapan sinis.
Delapan hanya memandangi Enam dengan tajam, seraya ingin menerkam Enam.
Sejak Enam menempatkan Delapan sebagai direktur KukerCorp, ia memang cenderung terganggu dengan aksi Enam. Enam memang suka bertindak seenaknya sendiri, apa yang dia rasa bisa berhasil pasti langsung dilakukannya, seringkali tanpa berkonsultasi dengan Delapan.
Enam balas menatap, tapi tampak ia berusaha melawan keinginannya untuk balas menerkam Delapan. Ia tahu Delapan memang kurang menyukainya, tapi memang bawaannya tidak terlalu peduli dengan pendapat orang, jadi dia langsung melanjutkan tidur presentasinya.
“Kita jadi punya ruang lebih leluasa untuk bergerak menjalankan agenda kita, dan kita juga mengalihkan perhatian publik dari propaganda KERNoK. Sekali dayung dua-tiga pulau terlewat” jelas Enam singkat.
Kali ini semua orang di ruangan itu mengiyakan Enam. Bahkan Delapan pun tampak mengangguk tanpa bersuara sedikitpun.
“Selain itu, dengan teknik marketing yang tepat, kita dapat menggunakannya untuk meningkatkan profit perusahaan. Akan ada kenaikan pembelian saham perusahaan. Ujungnya adalah keuntungan finansial bagi kita” lanjut Enam mengabaikan tatapan tajam Delapan.
Delapan mulai mengangguk lagi, seraya mengiyakan pendapat Enam, namun ia ragu untuk mengemukakannya secara langsung.
“Terus? Saya harus bilang apa ke para dewan pemegan saham?” tanya Delapan.
“Tenang saja, saya sudah mempersiapkan outline hal-hal yang harus ditekankan dan yang harus diabaikan” balas Enam.
“Kau tahu kau sudah bertindak diluar kewenanganmu?” tanya Sukarno tiba-tiba.
“Ya saya tahu. Tapi saya melakukannya demi kepentingan kita semua kan? Selain itu tidak ada pihak yang dirugikan, kecuali pihak yang memang mau kita atasi, KERNoK” balas Enam.
Jokowi kemudian berkomentar,
“Sebenarnya ini mungkin betul. Keuntungannya ada pada kita, dan pada masyarakat luas”
“Ya, ini demi kepentingan masyarakat luas juga, dan mempermudah kita menjalankan agenda organisasi ini” sela Pancasila.
Empat dan Klandestin mulai bercakap-cakap sendiri. Tidak jelas apa yang mereka bicarakan, namun Klandestin mengangkat tangannya untuk menyampaikan pendapatnya.
“Ya, Klandestin?” kata Enam.
“Saya rasa Anderson bertindak seenaknya. Sukarno, kau juga seharusnya lebih tegas. Saya mulai ragu siapa pemimpin kita saat ini, Sukarno atau Enam” komentar Klandestin.
Klandestin kelepasan, dia menyebut nama asli Enam secara langsung, Anderson. Sudah menjadi kode etik sendiri untuk tidak menyebut nama lengkap agen secara langsung di kantor. Tapi semua orang tampak tidak memperdulikan hal itu, pikiran mereka sedang berfokus ke masalah video tadi.
“Saya harusnya adalah pemimpin kalian,” seru Sukarno.
Kemudian dia balik menatap Enam,
“seandainya saja kau lebih koperatif” lanjutnya.
Enam hanya memandangi Sukarno.
“Cukup!” seru Suharto memecah keributan di ruang rapat itu.
“Sebenarnya pernyataan Enam cukup jelas, dan masuk akal” jelas Suharto, dengan suara tegas.
“Tapi tetap saja, seharusnya Enam tidak langsung berbuat seenaknya” lanjut Suharto sambil menatap tajam ke Enam.
Mata Enam, yang seperti sepasang mata kucing, menatap balik Suharto. Tapi kali ini dengan ekspresi yang berbeda, seperti menyesali perbuatannya. Enam cenderung lebih menghormati Suharto dibanding Sukarno.
Sukarno menarik nafas dalam, dan menghembuskannya. Tampak ia berusaha menenangkan diri. Dia menutup matanya untuk beberapa saat, kemudian langsung menatap Suharto.
“Sebenarnya ide Enam cukup bagus. Tapi tolong, " kemudian Sukarno memandang Enam.
“Tolong untuk berikutnya kau bisa berkoordinasi dulu dengan kita” lanjutnya.
Enam tersenyum. Untuk pertama kalinya di depan banyak orang ia tersenyum. Delapan pun sampai ternganga tanpa ia sadari. Enam yang bawaannya selalu dingin itu, ternyata memiliki sisi yang hangat.
“Kau bisa pegang perkataanku.” balas Enam dengan senyum yang berseri.
Sukarno hanya bisa memandang Enam. Suharto menatap Sukarno sesaat, dan Sukarno membuka mulutnya dengan berat hati untuk menjawab Enam,
“ya, baiklah” ucap Sukarno.
“Baiklah, pertemuan hari ini telah selesai. Kalian bisa kembali mengerjakan pekerjaan kalian seperti biasa.” lanjutnya.
Mereka pun keluar dari ruang rapat itu, kecuali Suharto dan Enam.
“Enam, kau masih punya waktu?” tanya Suharto.
Enam menatap Suharto. Biasanya saat Suharto menanyakan hal tersebut artinya Suharto sedang ingin membicarakan sesuatu. Ini sudah yang keenam kalinya Suharto mengajak Enam.
“Main Go lagi?” lanjutnya singkat.
Suharto mengangguk tanda mengiyakan.
Suharto meletakkan pionnya terlebih dahulu.
Enam tampak memikirkan langkah berikutnya, ketika Suharto memulai pembicaraan mereka,
“Kau ingat pertama kali kita bertemu?” tanya Suharto.
“Ya, saya ingat. Kau sama terkejutnya dengan Derictor waktu ia datang ke ruanganku pertama kali” jawab Enam sambil meletakkan pionnya.
Suharto tertawa kecil. Ia mengingat hari pertama ia bertemu Enam. Dan harus ia akui, ia memang kaget bukan kepalang pada waktu itu.
“Saat itu saya sudah tahu kau memang beda dengan orang lainnya” lanjut Enam.
“Ya, lucunya itu dua puluh tahun lalu, dan kau tidak menua sejak saat itu” balas Suharto.
Enam menatap Suharto sekilas. Dia tersenyum kecil, karena ini sudah keempat kalinya Suharto memulai pembicaraan dengan cara ini. Suharto membalas senyuman Enam, sambil meletakkan pionnya.
“Ada hal yang tidak perlu kau ketahui..,” kata Enam, sambil mengambil pion baru untuk diletakkan di papan permainan.
“Tapi kau meletakkan tanda untuk dipertanyakan” balas Suharto seketika.
Mereka bertatapan selama beberapa saat. Enam memecah keheningan dengan meletakkan pion yang diambilnya.
“Ya, saya memang menunggu untuk ditanyai” jelasnya singkat.
Suharto mengambil pion baru dan meletakkannya ke papan permainan, kemudian mengarahkan pandangannya ke Enam,
“Pertanyaan macam apa yang kau tunggu?”
“Yang pasti bukan pertanyaan itu” balas Enam sambil terkekeh.
Mereka bermain selama beberapa giliran, selama waktu itu juga mereka tidak berucap sepatah kata pun.
“Kau tahu, tidak ada manusia yang bermain seperti itu” komentar Suharto sambil mengamati cara bermain Enam.
Enam hanya tertawa ringan. Dia kemudian memperbaiki posisi duduknya, dan mulai berbicara,
“Kau juga hebat dalam bermain. Apa Aditya juga sebagus ini dalam bermain?”
“Untuk orang yang pernah dikalahkan Aditya, apa itu adalah pujian untukku?” balas Suharto sambil tersenyum.
“Hahahaha” tawa mereka berdua.
Mereka bermain beberapa giliran lagi diiringi dengan kesunyian. Suasana di tempat itu menjadi agak canggung.
“Kau tahu, saya yakin Aditya memodifikasi tubuhnya. Dia bukan lagi manusia biasa waktu itu” terang Enam tiba-tiba.
“Oh, kau mengakui kau kalah sekarang?” respon Suharto dengan senyumnya.
Enam hanya bisa tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
“Kau sebenarnya mau menanyakan apa?” tanya Enam spontan.
“Saya rasa kau tahu apa yang mau saya tanyakan” balas Suharto.
Enam tampak berpikir sesaat,
“Pembicaraan tidak seharusnya dikendalikan, kau tahu. Kita hanya perlu membiarkannya mengalir” kata Enam.
Suharto meletakkan pionnya di papan permainan.
“Tampaknya saya bisa menang kali ini..,” komentarnya.
Dia lalu memandang Enam, “dan, bukankah kau yang menghindari pertanyaanku? Bukankah harusnya percakapan itu dinikmati saja?” katanya.
Enam tertegun beberapa saat. Tampak matanya mulai berbinar, seolah-olah dia merasa terpuaskan dengan pertanyaan Suharto.
Enam pun tertawa.
“Tampaknya saya meremehkanmu” kata Enam, sambil tersenyum ringan.
Suharto hanya menatap Enam, berharap Enam akan mengatakan sesuatu.
“Baiklah, kau punya satu pertanyaan untuk kau tanyakan. Pilih dengan baik apa yang akan kau tanyakan” lanjut Enam.
Suharto tampak berpikir sesaat, berusaha untuk tidak membuang-buang kesempatan emas ini. Sesaat kemudian tampak wajahnya menjadi cerah, seperti memperoleh pencerahan akan apa yang akan dia tanyakan.
“Steven…,” ucap Suharto, sambil menatap Enam dengan pandangan yang meyakinkan.
“Dia itu siapa? Ada hubungan apa dia denganmu?” lanjutnya lagi.
Enam tersenyum, tapi tampak dia berusaha menahan diri.
“Kau cukup pintar dalam permainan ini” balas Enam.
“Dan kau cukup pintar untuk menghindar” komentar Suharto.
Mereka tertawa ringan setelah itu. Mereka lanjut bermain Go lagi selama beberapa giliran. Suharto tahu Enam sedang berusaha mencari cara untuk menjawab pertanyaan itu tanpa membuka jati dirinya yang sebenarnya. Yang Suharto khawatirkan adalah semakin lama Enam berpikir, semakin tinggi kemungkinan dia berhasil menyembunyikan jati dirinya.
“Dan jawaban dari pertanyaanku?” kata Suharto memecah keheningan mereka.
Enam menelan ludahnya, tampak kulit pucatnya sedikit berkeringat dingin. Tapi dia menahan keringatnya.
Mengingat Enam bisa mengendalikan laju keringatnya jika dia berkonsentrasi, kalau sampai bisa terlihat keringat di kulitnya, artinya dia sedang kehilangan konsentrasi untuk mengendalikan keringatnya.
Apakah dia memang kebingungan atau dia sengaja melakukannya, Suharto tidak tahu. Dia hanya bisa berspekulasi tentang apa yang sedang dipikirkan Enam.
“Steven adalah keponakanku, itu saja” respon Enam.
Dia mengembalikan postur tubuhnya ke postur santai, sambil menghilangkan ekspresi gugup dari wajahnya.
“Huh, makhluk ini penuh dengan tipu muslihat,” batin Suharto.
Suharto tahu banyak yang dia tidak ketahui tentang Enam. Satu hal yang dia tahu pasti, kalau Enam bukanlah manusia biasa.
Tidak ada manusia bisa mengendalikan keringat mereka, merubah bentuk iris mereka, atau mengubah warna kulitnya dengan hanya berkonsentrasi untuk beberapa hari, atau merontokkan rambutnya kemudian menumbuhkannya lagi dengan gaya rambut yang berbeda dalam jangka waktu dua hari. Yang lebih mustahil lagi, dia bahkan bisa melakukan dua pekerjaan yang berbeda sekaligus dengan menggunakan kedua tangannya, selagi berbicara dengan orang lain di saat yang sama.
Karena kemampuannya itu memang Enam sering ditugaskan dalam penyamaran dan infiltrasi, dan dia tidak pernah gagal sekalipun, kecuali sewaktu dia berhadapan dengan Aditya setahun lalu.
Dengan bertanya tentang Steven, Suharto berharap Enam bakal kelepasan dan memberi petunjuk mengenai asal usulnya. Suharto tahu Steven memiliki hubungan tertentu dengan Enam, tapi tentunya dia berharap Enam menjawab lebih dari sekedar mengkonfirmasi kalau Steven adalah keponakannya.
Saat Suharto mulai kecewa karena strateginya gagal, Enam tersenyum.
“Tampaknya kau tertarik sekali dengan Steven?” tanya Enam tiba-tiba.
Mendengar kalimat tersebut, Suharto langsung memusatkan perhatiannya ke Enam. Ini bisa jadi kesempatan lain untuk meluruskan benang kusut yang menyelimuti asal usul Enam.
“Baiklah kalau begitu,” kata Enam sambil merubah posisi duduknya.
“Kau bisa menanyakan dua pertanyaan lagi” lanjut Enam.
Kali ini Suharto tidak akan membuang-buang kesempatannya. Dia berusaha keras memikirkan apa yang akan ditanyakannya. Dia berusaha memikirkan celah-celah yang dapat digunakannya.
Darimana asal Enam? Rasanya dia tidak akan menjawab pertanyaan itu, dia bisa saja hanya menjawab kalau dia bukan berasal dari Kendari. Apa bisa langsung menanyakan saja siapa keluarganya yang lain? Tapi Enam pasti cukup pintar untuk menutup-nutupi fakta tentang dirinya.
Selama beberapa saat Suharto tampak frustrasi hanya untuk memikirkan apa yang harus dia tanyakan, langkah-langkahnya di meja permainan pun mulai tidak beraturan. Dia nyaris kalah telak di permainan Go mereka.
Saat dia sudah akan menyerah, tiba-tiba saja Suharto terpikirkan untuk menanyakan lagi tentang Steven.
“Apa dia sama dengan kau?” tanya Suharto.
Kali ini, jika dia mengatakan ya, itu bisa berarti Steven juga sama dengan dia. Dengan demikian kemungkinan Steven bukan manusia juga, dan secara tidak langsung Enam mengkonfirmasi kalau dia dan Steven bukanlah manusia.
Jika dia mengatakan tidak, artinya ada kemungkinan Steven adalah manusia. Tapi yang paling utama, dia juga mengkonfirmasi kalau dia adalah sesuatu yang berbeda dari manusia.
Apapun jawaban Enam, itu akan mengeliminasi kemungkinan-kemungkinan tentang asal usulnya. Itu dengan asumsi Enam benar-benar bukan manusia, atau sesuatu yang berbeda dari manusia.
“Maksudku, sama dengan kau artinya apa dia sejenis dengan kau atau tidak” koreksi Suharto.
Dia berusaha keras agar koreksinya tidak berupa kalimat tanya, sehingga Enam tidak akan menghitungnya sebagai pertanyaan ketiga. Suharto tahu Enam pasti akan memanfaatkan kesempatan itu untuk menghapus hak Suharto atas satu pertanyaan lagi.
Enam tampak terkejut mendengar pertanyaan Suharto. Tapi tampaknya dia berusaha untuk tetap tenang, dan menjawab dengan santai.
“Tidak, dan ya. Pada dasarnya dia berasal dari sisi yang sama denganku..” jawabnya.
“Tapi saya dengan dia, berbeda jauh. Lebih seperti anjing dan serigala” lanjut Enam memperjelas jawabannya.
Enam meletakkan satu pion ke meja permainan, dan tampak pionnya menguasai lebih banyak tempat dibanding pion Suharto, dan Suharto sudah tidak memiliki ruang untuk bergerak.
“Oke, saya menang lagi” kata Enam.
Suharto sudah tidak peduli lagi dengan permainan Go itu. Dia yakin dia sudah memenangkan permainan mereka yang sebenarnya. Enam sudah mengkonfirmasi kalau baik dia maupun Steven berasal dari tempat asal yang sama. Selain itu, dia juga mengkonfirmasi kalau dia dan Steven lebih seperti anjing dan serigala, artinya dia dan Steven serupa, tapi berbeda. Dengan kata lain, sama saja mengatakan kalau mereka berdua bukan manusia.
Suharto merasa yakin titik lemah dari bagaimana membuktikan asal usul Enam ada pada Steven.
Enam kemudian menatap Suharto, yang kini wajahnya tampak cerah dan percaya diri. Suharto tahu dia berhasil membuat Enam membeberkan rahasianya, walau Enam tidak secara langsung memberitahukannya.
“Kau masih punya satu pertanyaan lagi untuk kau tanyakan” kata Enam.
Suharto yang dipenuhi rasa percaya diri pun mulai memikirkan pertanyaan apa lagi yang mau dia tanyakan. Dia harus memastikan pertanyaan terakhir ini tidaklah sia-sia.
Dia kemudian mengingat salah satu dokumen di ruangan Enam, bertuliskan “Antarctica”. Kemudian dia mengingat waktu lainnya ketika Enam mengatakan “pergi saja ke antarktika” kepada seseorang melalui telepon, dan ketika Suharto mengamati suatu palka terbuka di kutub selatan melalui pesawat tanpa awak yang dikirimnya. Semua kejadian-kejadian tersebut berkelebat di dalam pikirannya bagai serangkaian film. Dia menyimpulkan ada sesuatu di antarktika, dan entah kenapa dia mendapat perasaan kalau Enam memiliki hubungan dengan semua itu.
Pada saat itu Suharto tidak yakin apakah memang Enam sengaja meletakkan petunjuk-petunjuk itu ataukah dia tidak sempat menyembunyikannya.
Tapi sekarang yang paling penting adalah mendapat konfirmasi mengenai asal-usul Enam, dan bahwa di antarktika memang ada suatu instalasi. Bagi Suharto semua ini bagaikan permainan strategi, dia harus menanyakan pertanyaan yang paling menguntungkan baginya dan di saat yang sama memenuhi rasa penasarannya. Dia pun merumuskan pemikirannya dalam satu kalimat tanya,
“Bangunan apa itu, yang berada di bawah lapisan es antarktika?” tanya Suharto.
Pada saat itu, seketika saja Enam terdiam. Dia hanya memandangi Suharto untuk beberapa saat. Entah apa yang ada di pikiran Enam saat itu.
Enam kemudian tersenyum, namun bibirnya tampak bergetar.
Wajah Suharto berseri-seri, ia merasa Enam sudah tidak punya jalan untuk lari lagi. Dia juga tahu Enam adalah orang yang sangat menjaga etiket, Enam tidak mungkin berbohong atau melanggar janjinya. Dia sudah janji akan memberikan Suharto tiga kesempatan untuk bertanya, dan dia akan menjawabnya.
“Kau menang untuk permainan ini” jawab Enam.
Dia menarik nafas perlahan, kemudian menatap ke langit-langit ruangan.
“Itu adalah Aucantica, tempat yang paling rahasia di seluruh bumi ini” lanjut Enam.
Enam kemudian balik ke arah Suharto, mereka bertatap mata. Irisnya yang menyerupai iris kucing, yang nyaris tidak bisa dibedakan warnanya dengan sklera matanya itu, menatap dalam ke mata Suharto bagai sedang menjelajahi jiwa Suharto.
Di saat itu Suharto menyadari bahwa bagian iris yang dekat dengan pupilnya ternyata lebih gelap.
“Atau, katakanlah pada dasarnya tidak ada manusia yang pernah mengetahui tempat itu” lanjut Enam.
Suasana di tempat itu mendadak menjadi hening, dengan suasana mencekam seraya mengelilingi mereka.
Enam kemudian mengernyitkan dahinya. Dia kembali bersandar ke kursinya, berusaha mencari posisi yang nyaman. Tangan kanannya ia naikkan dan menompang kepalanya yang dia miringkan sedikit ke kanan.
Matanya tetap menatap tajam ke mata Suharto.
Suharto tidak mengerti maksud pose Enam itu. Enam seolah-olah ingin bermain-main dengan pikiran Suharto. Suharto bahkan tidak tahu apakah Enam memang sudah merencanakan pembicaraan ini, atau memang Enam murni kaget dengan respon Suharto.
“Tapi tampaknya tidak juga. Buktinya kau bisa mengetahuinya” kata Enam.
Suharto hanya tersenyum. Dia tahu telah memenangkan permainan ini. Dia tahu Enam sudah tidak bisa mengelak lagi.
Jawaban Enam sudah jelas. Dia bukan manusia, Steven juga bukan manusia, dan dia dengan Steven adalah jenis yang berbeda. Dia juga mengkonfirmasi kalau ada sesuatu di Antarktika, sesuatu yang tidak seorang manusia pun yang mengetahuinya. Aucantica, suatu instalasi tersembunyi di Antarktika. Suharto tahu lokasi tepatnya, karena ia melihatnya sendiri melalui pesawat tanpa awak yang dikirimkannya.
Semua itu memenuhi pikiran Suharto pada saat itu. Campuran antara rasa girang, penasaran, terkejut, dan bingung. Suharto ingin tahu lebih lagi.
“Jadi, kau mengaku kalau kau bukan manusia?” tanya Suharto lagi.
Enam hanya menatapi Suharto.
“Sayang sekali, kesempatanmu sudah habis” jawab Enam.
“Tampaknya saya tidak bisa meremehkanmu” lanjut Enam, saat dia bersiap untuk pergi.
Dia tersenyum.
“Ya, memang tidak seharusnya. After all, this game is fairly played” balas Suharto singkat.
Enam hanya tersenyum, kemudian dia mengambil jubahnya dan berjalan ke pintu keluar.
Dia terdiam sesaat di depan pintu keluar, lalu berpaling ke Suharto,
“Sudah lama saya tidak merasakan ini. Saat saya menerima tugas ini, saya mengira saya akan menghabiskan waktuku dengan penuh kebosanan” komentar Enam.
“Tapi ternyata ada kau. Saya tidak menyangka manusia bisa mengejutkanku, atau hanya kau saja?” lanjutnya.
Enam kemudian berpaling sambil tertawa. Dia meneruskan langkahnya ke luar ruangan.
Di ruangan tersebut, kini hanya ada Suharto. Tampak wajahnya merasa puas. Pikirannya masih dipenuhi dengan kekaguman, rasa penasaran, dan rasa puas. Semua perasaan itu bercampur-aduk menjadi satu.
Suharto pun beranjak meninggalkan ruangan tersebut. Agendanya untuk minggu ini adalah menelusuri mengenai semua hal tersebut. Mungkin dia akan mendatangi Steven lagi, mengingat dia pernah mengenal Steven yang sewaktu itu masih sekolah kedokteran dan tinggal di dekat rumah Suharto.